Bolehkah mengamal sesuatu yang bertentangan dengan mazhab empat? Oleh:
Syeikh Dr Yusof al-Qaradhawi (Fatawa Mu'ashirah, vol. 2)
Pertanyaan: Kurang lebih tiga puluh tahun
lalu, dalam majalah Nurul Islam1 pada rubrik Fiqhiyyah yang memuat masalah Gharibul Ahkam (Hukum-hukum yang Aneh), terdapat
pertanyaan menarik dari sebagian pembaca. Pertanyaan tersebut berbunyi: apakah boleh mengamalkan hukum-hukum yang aneh, meskipun
bertentangan dengan mazhab yang diridhai pembaca dan imamnya menjadi ikutan (taklid)?
Dalam hukum-hukum tersebut terdapat
pendapat yang bertentangan dengan mazhab empat yang mutamad. Maka bagaimanakah hati akan merasa tenang mengamalkan pendapat
(hukum) tersebut?
Dan apakah pantas majalah nasional yang umum ini menyebarkan semacam pendapat yang aneh-aneh serta
menimbulkan polemik di antara pembacanya, sementara majalah itu sendiri menyerukan persatuan, persaudaraan, dan keharmonisan?
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan ini, sudah selayaknya bagi setiap pembaca, yang menaruh perhatian terhadap urusan
agamanya dan hendak mencari kebenaran murni, memperhatikan beberapa kaidah berikut ini.
1. Imam Mujtahid Banyak
jumlahnya Mazhab-mazhab fiqih Islam tidak hanya terbatas pada empat mazhab sebagaimana dugaan orang selama ini.
Imam-imam mazhab itu bukan hanya Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad saja, tetapi juga imam-imam lain
yang hidup sezaman dengan mereka (keempat imam tadi) yang peringkat ilmu dan ijtihadnya sama seperti mereka, bahkan mungkin
jauh lebih pandai dan lebih mengerti daripada mereka.
Imam al-Laits bin Saad adalah imam yang hidup sezaman dengan
Imam
Malik. Imam Syafii pernah berkata mengenai Imam al-Laits ini, katanya, Kalau saja tidak takut sahabat-sahabat Imam Malik tersinggung
sehingga bertindak kasar kepada al-Laits, dapat dikatakan bahwa al-Laits itu lebih pandai daripada Imam Malik.
Di Irak
terdapat Sufyan ats-Tsauri yang tidak kalah martabatnya dalam bidang fiqih daripada Imam Abu Hanifah. Dalam hal ini Imam al-Ghazali
memasukkan ats-Tsauri sebagai salah seorang imam yang lima dalam bidang fiqih. Lebih-lebih tentang keimaman beliau mengenai
ilmu As-Sunnah, sehingga beliau digelari Amirul Muminin fil-Hadits (Amirul Muminin dalam bidang hadits).
Al-Auzai
adalah Imam negeri Syam yang tidak ada tandingannya. Mazhabnya telah diamalkan di sana lebih dan dua ratus tahun.
Di
negeri tersebut ada juga Ahlul-Bait seperti Imam Zaid bin Ali, dan saudaranya Imam Abu Jafar Muhammad bin Alii al-Baqir, serta
putranya Imam Abu Jafar ash-Shadiq. Masing-masing mereka adalah mujtahid mutlak, yang diakui keimamannya oleh semua kalangan
Ahlus-Sunnah.
Selain itu, ada pula Imam ath-Thabari. Beliau seorang mujtahid mutlak dan imam fiqih, sebagai imam dalam
bidang tafsir, hadits, dan tarikh. Mazhab beliau juga mempunyai pengikut, meskipun kemudian musnah.
Sebelum Mazhab
Empat muncul, juga sudah terdapat imam-imam dan ustadz-ustadz bagi imam-imam mazhab itu, bahkan bagi syekh-syekh mereka dan
syekhnya syekh mereka, yang dapat dihitung dengan Jari. Mereka merupakan lautan ilmu dan pelita petunjuk. Siapakah di antara
pelajar yang tidak mengenal Said bin al- Musayyab, alFuqahaus-Sabah di Madinah, Thawus, Atha, Said bin Jubair, Ikrimah, al-Hasan,
Ibnu Sirin, asy-Syabi, al-Aswad, al-Qamah, Ibrahim, Masruq, Makhul, Zuhri, dan lain-lain, yang semuanya adalah fuqaha tabiin
yang merupakan alumni madrasah sahabat ridhwanullah alaihim.
Sebelum mereka (fuqaha zaman tabiin), juga ada fuqaha-fuqaha
sahabat yang merupakan alumni madrasah nubuwwah (kenabian). Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan sebab-sebab
turunnya Al-Quran dan sebab-sebab datangnya suatu hadits. Mereka paling jernih pemahamannya terhadap agama, dan paling mengerti
maksud Al-Quran, serta paling tahu dilalah (petunjuk) bahasa dan lafalnya. Siapakah yang tidak tahu kefaqihan Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ubai bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Muadz bin Jabal, Aisyah, dan imam-imam
sahabat
lainnya yang merupakan panutan dan teladan. Bukankah dengan mengikuti dan meneladani mereka, seseorang akan mendapat petunjuk?
2.
Imam Empat tidak Pernah Mengklaim Dirinya Maksum
Imam Empat -- seperti halnya imam-imam mujtahid lainnya --tidak
pernah mengklaim dirinya mashum (terpelihara dan dosa dan kesalahan), dan tidak ada seorang pun ulama yang berpendapat demikian.
Yang benar, mereka adalah mujtahid-mujtahid yang mencari kebenaran dengan segala daya dan kemampuannya sebagai manusia.
Jika mereka benar, mereka mendapatkan dua pahala. Sedangkan jika salah, mereka mendapatkan satu pahala. Karena itu, mereka
adakalanya menarik pendapatnya dan memilih pendapat lain untuk mengikuti dalil yang lebih jelas. Maka tidak aneh jika akhirnya
muncul beberapa riwayat (pendapat) yang berbeda mengenai satu masalah dari seorang imam.
Kita sudah mengetahui bahwa
Imam Syafii mempunyai dua mazhab (pendapat), yaitu mazhab qadim (pendapat lama) sewaktu beliau di Irak dan mazhab jadid (pendapat
baru) sewaktu beliau di Mesir. Dan hampir-hampir setiap masalah fiqih yang penting terdapat lebih dan satu pendapat dari Imam
Malik dan Imam Ahmad. Bahkan Imam Abu Hanifah menarik beberapa buah pendapatnya beberapa hari sebelum beliau wafat.
Sebelumnya,
Umar r.a. pernah memberi fatwa dengan suatu pendapat pada suatu tahun, kemudian memberi fatwa yang berbeda pada tahun berikutnya
(dalam kasus yang sama; penj.). Karena itu, apabila beliau ditanya mengenai hal itu, beliau menjawab, Yang itu menurut
apa yang kami ketahui tempo dulu; dan yang ini menurut apa yang kami ketahui sekarang.
Sahabat-sahabat Abu Hanifah
berbeda pendapat dengan beliau dalam beratus-ratus masalah karena bermacam alasan, seperti: dalil-dalil yang tampak pada mereka,
atsar-atsar yang sampai kepada mereka, atau karena kemaslahatan dan kebutuhan manusia yang mereka ketahui sepeninggal imam
mereka (Imam Abu Hanifah). Oleh karena itu, sebagian ulama Hanafiyah sering mengatakan (mengenai masalah-masalah khilafiyah),
Ini adalah perbedaan waktu dan masa saja, bukan perbedaan dalil dan bukti. 2
Ketika Abu Yusuf, murid Imam
Abu Hanifah yang terkemuka dan paling utama, bertemu dengan Imam Negeri Hijrah, yaitu Imam Malik bin Anas, dan beliau menanyakan
kepada Imam Malik tentang ukuran sha serta masalah wakaf dan zakat sayur-mayur, Imam Malik menjawab berdasarkan dalil yang
ditunjuki Sunnah mengenai masalah ini. Setelah mendengar jawaban tersebut, Abu Yusuf berkata, Aku kembali kepada pendapatmu,
wahai Abu Abdillah; dan seandainya sahabatku --yakni Imam Abu Hanifah-- mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya beliau kembali
(menarik) pendapatnya sebagaimana yang aku lakukan.
Demikianlah, kesadaran merupakan buah dari pengetahuan yang
dalam dan ijtihad yang benar. Dan perkataan para imam rahimahumullah menguatkan hakikat (kebenaran) yang nyata ini.
Imam
Abu Hanifah benkata, ini adalah pendapatku, dan ini sebaik-baik pendapatku. Maka barangsiapa yang mendatangkan pendapat
yang lebih baik, niscaya kami terima.
Imam Malik berkata, Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa yang
mungkin benar dan mungkin salah; karena itu, konfirmasikanlah pendapatku dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
Imam Syafii
berkata, Jika terdapat hadits sahih yang bertentangan dengan pendapatku, buanglah pendapatku ke pagar. Dan jika Anda melihat
hujjah yang kuat di jalan, maka itulah pendapatku.
Perkataan lain yang cukup populer dari Imam Syafii ialah: Pendapatku
adalah benar tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat orang lain adalah salah tetapi mengandung kemungkinan benar.
3. Tidak Ada Dalil yang Mewajibkan Taklid kepada Mazhab Tertentu
Mengikuti suatu mazhab dan
bertaklid kepada perkataan imamnya tidaklah fardu dan tidak pula sunnah. Karena itu, perkataan Sesungguhnya bertaklid kepada
imam tertentu adalah wajib merupakan perkataan yang tertolak. Ada tiga alasan yang memperkuat penolakan ini.
Pertama,
telah ditetapkan dalam Al-Quran, As-Sunnah, dan ijma bahwa Allah SWT hanya memfardukan hamba-hamba-Nya untuk menaatiNya dan
menaati Rasul-Nya. Allah tidak mewajibkan umat Islam untuk menaati seseorang kecuali Rasulullah saw. Umat Islam telah sepakat
bahwa tidak ada seorang pun yang maksum dalam semua perintah dan larangannya kecuali Rasulullah saw..
Karena itu, diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, Atha, Mujahid, dan Malik bin Anas bahwa mereka pernah berkata, Tidak ada seorang pun melainkan boleh diterima
dan ditolak perkataannya, kecuali Rasulullah saw..
Demikianlah, mengikuti segala perkataan orang yang tidak mashum
merupakan kesesatan yang nyata, karena sikap demikian itu menjadikan kedudukan sang imam terhadap pengikutnya sama dengan
kedudukan Nabi terhadap umatnya. Sikap seperti ini menggeser kedudukan agama dan menyerupai sikap orang-orang Nasrani yang
dicela oleh Allah dengan firman-Nya: Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka Sebagai tuhan selain
Allah .... (at-Taubah: 31)
Mereka disinyalir demikian itu karena mereka mematuhi saja segala sesuatu yang dihalalkan
dan diharamkan oleh orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut, sebagimana pula diterangkan oleh Rasulullah saw..
Kedua,
para imam sendiri telah melarang orang bertaklid kepada mereka, dan mereka tidak pernah beranggapan bahwa mereka mensyariatkan
agama bagi manusia yang wajib diikuti. Bahkan, mereka melarang orang lain mengambil perkataan mereka atau perkataan siapa
pun tanpa hujjah. Simak perkataan Imam Syafii ini:
Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa hujjah seperti orang
yang mengambil kayu bakar pada malam hari. Ia membawa seikat kayu bakar tetapi Ia tidak tahu bahwa di dalamnya terdapat ular
yang siap mematuknya.
Imam a!-Muzni berkata pada permulaan Mukhtasharnya, Saya meringkas ini dari ilmu Imam
Syafii dan dari makna perkataan beliau, untuk saya dekatkan kepada orang yang menghendakinya --dengan memperhatikan penegasan
beliau yang melarang orang bertaklid kepada beliau dan kepada orang lain-- supaya orang tersebut memperhatikannya untuk agamanya
dan berhati-hati untuk dirinya.
Imam Ahmad berkata, Janganlah kamu bertaklid kepadaku, jangan bertaklid kepada
Imam Malik, jangan bertaklid kepada atsTsauri, jangan bertaklid kepada al-Auzai tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.
Kata beliau lagi, Di antara tanda minimnya pengetahuan seseorang ialah ia bertaklid kepada orang lain dalam
urusan agamanya.
Abu Yusuf berkata, Tidak halal bagi seseorang mengutarakan pendapat kami sehingga ia tahu
dan mana kami menetapkan pendapat itu.
Ketiga, sesungguhnya taklid dan fanatik kepada mazhab itu merupakan perbuatan
bidah dan bertentangan dengan petunjuk salaf serta tiga generasi pemula. Pengarang kitab Taqwimul Adillah, yaitu al-Allamah
Abu Zaid ad-Dabusi, berkata, Orang-orang pada masa permulaan Islam --yakni para sahabat, tabiin, dan shalihin-- menetapkan
semua urusan mereka berdasarkan hujjah. Mereka mendasarkannya pada al-Quran, kemudian pada As-Sunnah, dan perkataan orang-orang
sesudah Rasulullah saw. apabila hujjahnya tepat. Karena itu, bisa saja seseorang mengambil pendapat Umar dalam suatu masalah,
kemudian Ia menentangnya dengan pendapat Ali dalam masalah lain. Dan di dalam syariat tidak ada mazhab Umar dan mazhab Ali,
tetapi penisbatan urusan itu adalah kepada Rasulullah saw.. Mereka merupakan generasi yang disanjung Rasulullah saw. sebagai
generasi terbaik. Mereka memandang hujjah yang dikemukakan, tidak memandang siapa ulamanya dan tidak pula memandang siapa
dirinya.
Tetapi ketika takwa telah sirna dari kebanyakan generasi keempat dan mereka malas mencari hujjah, orang-orang
menjadikan ulama-ulama sebagai hujjah dan mereka jadikan ikutan. Karena itu, sebagian merek ada yang menjadi pengikut Imam
Hanafi, pengikut Imam Malik, pengikut Imam Syafii, dan sebagainya. Mereka bela hujjah karena tokohnya, dan mereka sandarkan
kebenaran pada kelahiran mazhab tersebut.
Syekh al-Imam Izzuddin bin Abdus Salam berkata, Orang-orang senantiasa
menanyakan kesepakatan para ulama tanpa terikat dengan suatu mazhab dan tidak menganggap munkar kepada orang yang bertanya.
Keadaan demikian itu berjalan terus hingga munculnya mazhab-mazhab tersebut serta pentaklidnya yang fanatik. Karena itu, seseorang
mengikuti saja kepada imamnya meskipun mazhabnya jauh dari dalil. Mereka bertaklid kepada semua perkataan imamnya, seakan-akan
imam itu nabi utusan Tuhan. Sikap seperti itu jauh dari kebenaran dan tidak ada seorang cendekiawan pun yang meridhainya.
Oleh karena itu, wajiblah bagi seorang muslim apabila Ia kesulitan mendapatkan dalil tentang suatu hukum untuk
menanyakan kepada ahlinya, dan tidak wajib atasnya berpegang pada mazhab tertentu. Sebab, tidak ada sesuatu yang wajib melainkan
apa yang di wajibkan Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul tidak pernah mewajibkan seseorang untuk menjadi pengikut Imam Hanafi,
Imam Syafii, atau lainnya. Pensyarah kitab Musallamuts Tsubut berkata, Mewajibkan bermazhab berarti mensyariatkan suatu
syariat yang baru." 3
4. Berbeda dengan Imam Bukan Berarti Mencela Keimamannya
Berbeda pendapat
dengan Imam Mazhab Empat (semua atau sebagian) tidak berarti mencela atau melecehkan keimaman mereka. Tidak merendahkan kedudukannya
dan tidak meremehkan keluasan ilmunya, kebenaran ijtihadnya, serta kesungguhannya dalam mencari kebenaran.
Barangsiapa
yang beranggapan sebaliknya (berbeda pendapat dengan imam berarti mencela), dia tidak mengerti hakikat dan sejarah umat.
Mencintai
para ulama, menghormati, dan menjunjung tinggi kedudukan mereka termasuk ketetapan agama Islam. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan dalam mukadimah kitabnya Raful-Malam anil-A'immatil-AIam sebagai berikut: Wajib bagi umat Islam, setelah setia
kepada Allah dan Rasul-Nya, untuk setia kepada sesama mukmin, sebagaimana dikatakan oleh Al-Quran, khususnya kepada para ulama
yang merupakan ahli waris para nabi, dan yang telah dijadikan oleh Allah kedudukannya seperti bintang-bintang yang menjadi
petunjuk arah dalam kegelapan darat dan laut, dan telah disepakati oleh umat Islam atas petunjuk dan periwayatannya. Karena
mereka adalah khalifah-khalifah rasul pada umatnya dan yang menghiduphidupkan sunnahnya yang telah mati. Dengan merekalah
Al-Quran tegak, dan dengan Al-Quran mereka berdiri; dengan lantaran mereka Al-Quran berbicara, dan dengan lantaran Al-Quran
mereka berbicara ....
Ibnul Qasim berkata, Saya pernah mendengar Imam Malik dan Imam al-Laits berkata mengenai
perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah saw.. Kata mereka, Tidak seperti kata orang, mengenai masalah ini terdapat kelonggaran.
Sekali lagi tidak demikian; pendapat itu boleh jadi salah dan boleh jadi benar. Dan Imam Malik juga pernah berkata mengenai
perbedaan pendapat di antara mereka itu, Ada yang salah dan ada yang benar, dan hendaklah Anda berijtihad." 4
Kalau
para sahabat yang mulia itu --menurut pandangan Imam Malik dan Imam al-Laits-- bisa berbuat keliru dan bisa benar pendapatnya,
maka bagaimana lagi pandangan Anda mengenai orang lain?
5. Ibnu Hazm Mengharamkan Taklid Saya telah
berusaha memilih ungkapan paling ringan mengenai masalah taklid, yakni tidak wajib dan tidak sunnah. Tetapi amanah ilmu
mewajibkan saya untuk membenitahukan kepada pembaca apa yang dikemukakan Ibnu Hazm, seorang faqih yang kuat hujahnya.
Ia
mengatakan, Sesungguhnya taklid itu haram, dan tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat orang lain selain Rasulullah
saw. tanpa berdasarkan keterangan yang jelas. Alasannya sebagai berikut.
a. Firman Allah Taala: Ikutilah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya .... (alAraf: 3)
Dan
apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab, (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dan (perbuatan) nenek moyang kami.... (al-Baqarah: 170)
Allah memuji orang yang tidak
bertaklid: "..sebab itu, sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti
yang paling balk di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah di-beri Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal (az-Zumar: 17-18)
b. Firman Allah: "..Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
(an-Nisa: 59)
Jadi, kalau terjadi perselisihan pendapat, Allah tidak memperkenankan untuk mengembalikannya kepada
seseorang selain Al-Quran dan As-Sunnah. Demikian pula, jika terjadi perselisihan, diharamkan mengembalikan sesuatu kepada
pendapat seseorang, krena ia bukan Al-Quran dan bukan As-Sunnah.
c. Telah sah ijma (kesepakatan) seluruh sahabat, sejak
yang pertama hingga terakhir, ijma seluruh tabiin, dari yang awal hingga terakhir, dan ijma tabiit tabiin, dari yang pertama
hingga terakhir, yang mencegah dan melarang seseorang dari mereka atau sebelum mereka, secara keseluruhan.
Hendaklah
diketahui dan dimengerti oleh orang yang mengambil semua perkataan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, atau semua perkataan
Imam Ahmad radhiyallahu anhum, atau mereka yang tidak mau meninggalkan perkataan orang yang mengikutinya dari kalangan mereka
atau dari lainnya untuk berpaling kepada pendapat orang lain, bahwa sikap demikian itu berarti menentang ijma seluruh umat
sejak permulaan hingga terakhir. Ia tidak mendapatkan untuk dirinya amal perbuatan yang berlaku pada tiga masa terpuji itu.
Dengan sikap tersebut, berarti ia telah mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kita berlindung kepada Allah
dari hal ini.
d. Karena para fuqaha telah melarang bertaklid kepada mereka, maka orang yang bertaklid kepada mereka
berarti berbeda dengan mereka.
e. Apakah yang menjadi kelebihan para imam hingga kita harus bertaklid kepada mereka?
Apakah mereka lebih utama daripada Umar bin Khattab, Alii bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, atau Aisyah Ummul
Mukmunin r.a.?
Kalau diperbolehkan taklid, sebenarnya orang-orang seperti yang disebutkan terakhir itulah yang lebih
berhak untuk diikuti daripada lainnya.5
Perkataan ini lebih pantas ditujukan kepada ulama-ulama yang telah membaca
Al-Quran dan hadits, fiqih dan ushul flqih, serta telah mempelajari bahasa dan strukturnya, tetapi mereka tidak berusaha membahas,
membanding, dan menyaring bermacam-macam mazhab serta pendapat yang ada. Mereka hanya ingin melestarikan kemalasan dan kemandekan.
Jika ada orang yang berusaha mengadakan pembahasan, menimbang, dan mentarjih dari berbagai pendapat dan mazhab--sebagaimana
yang semestinya menjadi tugas dan sikap orang alim-mereka berkata, Stop dulu! Siapakah Anda? Biarkan manusia dalam keadaannya
seperti itu! Lalu, diperanginyalah orang itu seakan-akan dia memerangi kemunkaran.
Bagaimana jika untuk orang-orang
awam? Saya tidak menerima pendapat Ibnu Hazm yang menetapkan bahwa orang-orang awam haram melakukan taklid.
Mudah-mudahan saya dapat mendiskusikan pendapatnya itu pada kesempatan lain.
6. Keanehan Hukum Bersifat Relatif Sesungguhnya
keanehan suatu hukum itu sifatnya relatif. Banyak hukum yang dianggap aneh oleh suatu masyarakat, tetapi dipandang masyhur
oleh masyarakat lain. Banyak hukum yang dianggap aneh pada suatu waktu, tetapi dapat diterima dan disukai pada waktu lain.
Karena itu, keanehan suatu hukum tidak mutlak, sebagaimana kemapanannya juga tidak mutlak. Ia bisa berubah karena perbedaan
tempat dan waktu, situasi dan kondisi.
Baiklah saya kemukakan beberapa contoh sebagai berikut. Masyarakat yang
mengajari anak-anaknya beribadah menurut mazhab Syafii, mereka menganggap aneh dan ganjil terhadap kaum yang melakukan shalat
Jumat dengan tidak didahului shalat dua rakaat sebelumnya. Sementara itu, masyarakat pengikut mazhab Maliki memandang sebaliknya
(mengganggap shalat qabliyah Jumat itu aneh dan ganjil).
Masyarakat Syafiiyah menganggap ganjil dan sangat aneh terhadap
orang yang membaca al-Fatihah (dalam shalat) tanpa membaca Bismillahirrahmanirrahim, berbeda dengan golongan Malikiyah yang
tidak membaca basmalah sama sekali. Berbeda lagi dengan golongan Hanafiyah yang tidak men-jahar-kannya (tidak membacanya dengan
keras, hanya dengan perlahan).
Lingkungan masyarakat Syafiiyah menganggap aneh terhadap shalat orang muslim yang setelah
menyentuh perempuan tetapi tidak berwudhu lagi, dan shalat orang yang terkena kencing atau tahi unta, sapi, dan kambing, tetapi
tidak mencucinya. Berbeda dengan masyarakat Malikiyah dan lainnya yang menetapkan bahwa semua binatang yang dagingnya boleh
dimakan, kencingnya dan tahinya adalah suci. Bahkan mereka menganggap sangat aneh terhadap seseorang yang melakukan shalat
yang sebelumnya bersentuhan dengan anjing yang basah. Ini pun berbeda dengan mazhab Maliki yang menganggap anjing itu suci
... dan lain-lain lagi.
Pada zaman sekarang ini kita menjumpai sebagian hukum yang mulanya ditentang dan dianggap
aneh oleh masyarakat, bahkan dibuang jauh-jauh, tetapi setelah dipikir, ditimbang, dan direnungkan, tampak jelas hujjahnya
dan masyarakat secara umum merasa cocok dengannya. Alasannya, hukum tersebut mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat. Alhasil,
ia diterima setelah ditolak dan dianggap baik setelah diingkari.
Misalnya perubahan-perubahan yang menyangkut peraturan
keluarga yang dinamakan dengan al-ahwal asy-syakhshiyyah. Contohnya, tidak jatuhnya talak yang digantungkan, dan yang tidak
dimaksudkan untuk menghasut yang bersangkutan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, jatuhnya talak tiga dengan
satu ucapan sebagai talak satu (talak tiga yang dijatuhkan sekaligus hanya dihukumi sebagai talak satu), dan seperti undang-undang
tentang wasiat wajibah untuk menyelamatkan anak-anak si ayah yang telah meninggal dan keserakahan paman-pamannya dan penyia-nyiaan
kakek-neneknya. Pada mulanya masyarakat mengganggap aneh terhadap hukum-hukum tersebut, tetapi kemudian mereka menerima. Bagaimana
hukum itu tidak diterima, sedangkan dasarnya diambil dan Al-Quran?
Sesungguhnya perkataan aneh itu tidak mempunyai
batasan tertentu. Jika yang dimaksud dengan hukum aneh itu adalah yang bertentangan dengan pendapat jumhur ulama, maka Ibnu
Hazm berkata, Kami berbeda pendapat dengan Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik dalam beratus-ratus masalah, yang
dikatakan oleh masing-masing mereka, yang kami tidak mengetahui seorang pun dari kaum muslim sebelumnya yang mengatakan demikian.
Lalu mereka merasa heran terhadap hal ini. 6
7. Tidak ada Kelaziman antara Kebenaran dengan Kemasyhuran Pendapat
Kebenaran
tidak menjadi kelaziman (keharusan) bagi pendapat yang masyhur dan kekeliruan juga bukan menjadi kelaziman bagi pendapat yang
aneh. Kebenaran dan kekeliruan menurut ulama-ulama muhaqqiq tidak mengikuti kemasyhuran dan keanehan. Banyak hukum yang sudah
masyhur (terkenal), tetapi setelah didiskusikan ternyata dalil-dalilnya rapuh atau lemah, dan sebaliknya banyak pula hukum
yang diangap aneh tetapi mempunyai dalil yang jelas.
Orang muslim yang menaruh perhatian terhadap agama wajib menjadi
tolok ukur untuk mengetahui kebenaran dengan kuatnya hujjah dan ketepatan dalilnya, bukan berdasarkan kemasyhuran pendapat
atau banyaknya orang yang berpendapat atau bermazhab kepadanya.
Kalau yang menjadi tolok ukur kebenaran ialah mengikuti
yang dominan dan kepercayaan golongan terbanyak, niscaya Islam merupakan kebatilan di tengah-tengah agama-agama atau isme-isme
yang sesat dan menyesatkan yang pengikutnya sampai beratus-ratus juta (bahkan bermiliar-miliar; penj.). Allah berfirman:
Dan
sebagian besar manusia tidak beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf: 103)
Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah .... (al Anam:116)
...
kebanyakan manusia tidak beriman. (ar-Rad: 1)
... kebanyakan mereka tidak mengetahui. (al-Anam: 37)
...
kebanyakan mereka tidak mengerti. (al-Hujurat: 4)
".. kebanyakan mereka tidak bersyukur. (Yunus: 60)
Ibnu
Masud berbeda pendapat dengan orang banyak tentang beberapa waqaf (pemberhentian ayat) dan berbagai hal lain, lalu sebagian
sahabatnya bertanya kepadanya, Mengapa Anda tidak mengikuti jamaah? Dia menjawab, Jamaah itu ialah apa yang sesuai
dengan kebenaran, meskipun engkau hanya seorang diri.
Ibnu Masud juga telah mengantisipasi akan datangnya zaman
yang pada waktu itu pertimbangan-pertimbangan telah rusak sehingga manusia begitu akrab dengan kebatilan, menganggap aneh
terhadap kebenaran, menganggap yang munkar itu maruf dan yang maruf itu munkar. Dalam hal ini Ibnu Masud bertanya, Bagaimana
jika kamu menghadapi zaman seperti itu, zaman ketika manusia diliputi fitnah, ketika anak-anak sudah menjadi dewasa dan orang
tua menjadi rapuh? Mereka menganggap fitnah sebagai sunnah dan sunnah sebagai fitnah, dan mereka mengatakan, Sunnah telah
diubah! atau (sunnah) ini adalah kemunkaran!
Cukuplah menjadi dalil bahwa keanehan itu bukan sesuatu yang salah.
Jika sebagian ayat muhkamat dari Kitab Allah ada yang tidak dilaksanakan pada zaman sahabat, itu bukan berarti kesalahan,
melainkan karena hukumnya dianggap asing bagi orang banyak. Misalnya, firman Allah:
Dan apabila sewaktu pembagian
itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik (an-Nisa: 8)
Sebagian ulama mengira bahwa ayat tersebut mansukh, karena itu mereka tidak mengamalkannya.
Firman Allah yang lain:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (laki-laki dan wanita) yang kamu miliki
dan orang-orang yang belum baligh antara kamu meminta izin kepadamu .... (an-Nur: 58)
Ibnu Abbas berkata, Sesungguhnya
setan telah mengalahkan manusia atas ayat-ayat ini, sehingga mereka tidak mengamalkannya"7.
8. Perbedaan
Pendapat dalam Masalah Furu Jangan Sampai Menimbulkan Perpecahan
Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah
yang tidak terdapat nash atau dalil yang qathi tidak boleh menimbulkan perpecahan atau pertentangan. Sesungguhnya di kalangan
sahabat juga terjadi perbedaan pendapat, namun perbedaan itu tidak menjadikan mereka pecah, bermusuhan, atau saling membenci.
Di
antara sahabat, tabiin, dan orang-orang sesudahnya ada yang membaca basmalah (ketika membaca al-Fatihah dalam shalat) dan
ada yang tidak membacanya; ada yang men-jahar-kannya (membacanya dengan nyaring) dan ada yang tidak men-jahar-kannya; ada
yang membaca qunut pada waktu shalat subuh dan ada yang tidak membacanya; ada yang berwudhu setelah berbekam,8 mimisan, serta
muntah, dan ada pula yang tidak berwudhu lagi setelah itu; ada yang berwudhu karena sehabis makan sesuatu yang dimasak dan
ada yang tidak berwudhu; dan ada yang berwudhu karena makan daging unta dan ada pula yang tidak berwudhu.
Sebagian
mereka biasa melakukan shalat di belakang sebagian yang lain. Misalnya Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Imam Syafii
dan lainnya -- semoga Allah meridhai mereka-- biasa melakukan shalat di belakang imam-imam Madinah dari kalangan Malikiyah
dan lainnya, meskipun mereka tidak membaca basmalah, baik sirri (perlahan) maupun jahar (nyaring)
Harun ar-Rasyid pernah
shalat dan menjadi imam setelah berbekam. Abu Yusuf, salah seorang makmumnya (murid Imam Abu Hanifah yang berpendirian bahwa
berbekam itu membatalkan wudhu), sama sekali tidak mengurangi shalatnya. Imam Malik telah membeni fatwa kepada ar-Rasyid bahwa
orang yang berbekam itu tidak wajib berwudhu lagi. (Maksudnya, berbekam itu tidak membatalkan wudhu; penj.)
Imam Ahmad
berpendapat harus berwudhu jika mimisan atau setelah berbekam. Lalu beliau ditanya, Apakah jika seorang imam (shalat) mengeluarkan
darah dan dia tidak berwudhu lagi, apakah Anda mau shalat di belakangnya? Beliau menjawab, Bagaimana saya tidak mau
shalat di belakang Imam Malik dan Said bin alMusayyab?
lmam Syafii pernah shalat di dekat kubur Imam Abu Hanifah,
dan beliau tidak berqunut sebagai adab terhadap Imam Abu Hanifah.
Beliau berkata, Adakalanya kita menuruti mazhab
penduduk Irak.
Dalam kitab al-Bazaziyyah --termasuk kitab mazhab Hanafi-- diriwayatkan dari Imam Kedua, yaitu Abu
Yusuf, bahwa beliau pernah shalat Jumat mengimami orang banyak yang sebelumnya mandi di kolam. Setelah selesai, beliau diberitahu
bahwa ada bangkai tikus di dalam sumur, tempat asal air yang disalurkan ke kolam tadi. Lalu beliau berkata, Kalau begitu,
kami mengambil pendapat saudara-saudara kami penduduk Madinah bahwa apabila air itu mencapai dua qullah maka ia tidak mengandung
najis.9
Gambaran di atas menunjukkan keluwesan dari para imam dalam menghadapi perbedaan pendapat. Mereka menganggap
bahwa pendapat yang benar (dari hasil ijtihad) tidak dipandang sebagai sesuatu yang qathi, sedangkan yang salah dimaafkan
pelakunya bahkan tetap diberi pahala. Karena itu, dalam kasus seperti ini para imam cenderung mensahihkan suatu pendapat dan
menetapkan pendapat yang berbeda dengannya. Mereka berkata, Ini lebih berhati-hati dan inilah yang dipiih .... ini lebih
saya sukai Atau Tidak ada yang sampai kepadaku selain itu ....
Perkataan-perkataan seperti itu banyak terdapat
dalam al-Mabsuth, Atsar Muhammad (bin Yusuf), dan perkataan Imam Syafii rahimahumullah.10
Semoga Allah meridhai Imam
Malik, seorang imam yang sangat pandai. As-Suyuthi menceritakan bahwa Khalifah Harun ar-Rasyid pernah meminta Imam Malik untuk
menggantungkan kitab alMuwaththa di dinding Kabah dan menginstruksikan kepada orangorang untuk mengamalkan isinya. Lalu Imam
Malik menjawab, Jangan engkau lakukan itu, karena sahabat-sahabat Rasulullah saw. berbeda pendapat dalam masalah furu.
Mereka berpencar di berbagai negara, sedangkan masa terus berlalu. Ar-Rasyid berkata, Mudah-mudahan Allah memberi taufik
kepadamu, wahai Abu Abdullah.
Selain kisah di atas, juga terdapat kisah antara beliau (Imam Malik) dengan khalifah
al-Mansyur.11
Wabadu.
Tulisan ini tidak saya maksudkan sebagai pembelaan terhadap penulis hukum yang aneh-aneh
dan tidak pula untuk mendukung semua kasus yang dihadapinya. Saya hanya bermaksud mendukung metode pembahasan, perbandingan,
dan penyaringan terhadap berbagai pendapat. Setiap muslim harus menjadi tawanan bagi dalil dan hujjah, Karena itu, jika ada
hukum yang dalilnya kuat, yang memuaskan akal dan memantapkan hati, maka amalkanlah hukum itu meskipun dikatakan hukum yang
aneh. Dalam hal ini Anda jangan merasa takut dikatakan orang yang mempermudah, karena agama kita datang dengan membawa kemudahan,
keringanan, dan rahmat.
Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang lunis dan
Iapang...." 12
Permudahlah dan jangan kamu persulit!13
Sesungguhnya kamu diutus untuk memberi
kemudahan, dan tidak diutus untuk memberi kesulitan." 14
Allah berfirman: "Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu .... (al-Baqarah: 185)
"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu,
dan manusia dijadikan bersifat lemah. (an-Nisa: 28)
"Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (al-MaIdah: 6)
Nota kaki: 1 Majalah ini dikelola oleh ulama dakwah dan para dosen di Universitas al-Azhar.
2Imam Ibnul Qayyim
membuat pasal tersendiri dalam kitabnya IIamul Muwaqqiin mengenai perubahan fatwa karena perubahan zaman. Silakan baca!
3Lihat
Muqaddimah Muqaranatul Madzhab oleh Prof. Syekh Syaltut dan Syekh Muhammad as-Sayis.
4Ibnu Hazm al-Ihkam fi Ushulil
Ahkam 6, 88.3.
5Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam
6Al-Ihkamfi Ushulil-Ahkam, 535.
7Lihat, Tafsir Ibnu Katsir,
3: 303.
8Bekam: cara pengobatan dengan mengeluarkan darah dari badan (dengan menelungkupkan mangkuk panas pada kulit
sehingga kulit menjadi bengkak, kemudian digores dengan benda tajam supaya darah itu keluar); (Kamus Besar Bahasa Indonesia;
ed.)
9syekh Waliyyullah ad-Dahlawi; Hujjatullah al-Balighah, 1: 159.
10Ibid hlm. 145.
11Ibid hlm. 145.
Dan lihat pula kitab kami: ash Shahwah al-Islamiyyah baina al-ikhtilaf alMasyru Wa Tafarruq al Madzmun,, hlm. 59 dan seterusnya,
terbitan Darul Wafa wash shahwah.
12HR Ahmad dalam Musnad-nya dan Thabrani dalam al-Mu jam al-Kabir, 7715.
13Muttafaq
alaih dari hadits Anas.
14HR Bukhari, Tirmidzi, dan Nasai dan hadits Abu Hurairah.
|